JAKARTA, BacainD.com – Kampung adalah ekosistem asli Jakarta. Karena itu, tak bisa terpisahkan dari Jakarta. Bahkan eksis di pusat kawasan bisnis, walau berdampingan dengan hotel mewah bintang lima dan gedung pencakar langit yang menjadi ‘landmark’ Jakarta.
Kampung adalah identitas dan jati diri lokal yang menjadi lambang harmoni sosial Jakarta.
“Kampung adalah wajah ramah metropoltan yang inklusif dengan ruang publik yang berlimpah. Kampung adalah rumah, tempat setiap warga hidup aman dalam masyarakat yang penuh persaudaraan, sekaligus tempa usaha yang memberi kesejahteraan secara merata,” ujar Chairuddin, putra Betawi dari Cipinang Muara, Jatinegara, Jakarta Timur, Rabu (7/8/2024).
Mantan Kepala Badan Amil Zakat, Infak dan Sedekah (Bazis) Kota Administrasi Jakarta yang pernah terpilih sebagai Kepala Bazis terbaik tingkat Provinsi DKI Jakarta itu menambahkan, dalam lima dekade berikutnya, lahan kampung di Jakarta menurun secara drastis.
Hal itu terkaji karena spekulasi dan meroketnya harga tanah dan penggusuran. “Penggusuran paksa terhadap kampung-kampung menjadi fenomena umum dalam penataan kota. Sehingga, keberadaan kampung ditiadakan dalam perencanaan kota. Bahkan dimusuhi dan dimarjinalkan,” ujar mantan Lurah Pondok Bambu dan Jatinegara Kaum itu.
Arus utama pembangunan Jakarta secara jelas sangat materialistis dan fungsional, teknikal dan apolitis. Kota hanya menjadi ruang-ruang kapital dengan kepentingan ekonomi menjadi panglima. Tata ruang kota pun bergeser hanya untuk melayani pemilik modal.
Ungkapan senada diutarakan Anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta dari Fraksi Golkar Khotibi Achyar. Politisi berdarah Betawi dari Cengkareng yang akrab dipanggil Haji Beceng, singkatan dari Betawi-Cengkareng, Jakarta Barat itu juga menyebutkan, konversi ruang terbuka hijau (RTH) untuk hunian mewah dan kawasan komersial dilegalkan melalui perubahan rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) kota.
“RTH Jakarta yang semula 37,2 persen pada RTRW 1965-1985 menjadi 9,98 persen pada RTRW 2010-2030. Kecenderungan ini berjalan masif seiring pertumbuhan penduduk super-kaya Jakarta yang berlipat lima kali dalam beberapa dekade belakngan ini. Jumlahnya, yang pada 2015 sekitar 26.600 orang, kini mencapai lebih dari 35.000 orang yang kekayaannya mencapai lebih dari 1 ( satu) juta dollar AS,” papar Beceng.
Ajang Delokalisasi
Anggota Komisi A DPRD Provinsi DKI Jakarta yang membidangi pemerintahan, kependudukan, dan hukum itu lebih lanjut mengemukakan, pembangunan pun akhirnya menjadi ajang delokalisasi dan mencerabut kota dari akar sejarahnya.
“Kota sepenuhnya menjadi engine of growth. Pembangunan kota semata fungsi dari profit dan konsumsi material. Ruang fisik Jakarta tumbuh pesat, dan nyaris tanpa kendali, diserai kekuatan pasar. Jakarta akhirnya disesaki properti dengan harga yang terus melambung dan menjadikannya sebagai salah satu kota dengan harga properti tertinggi di dunia,” urai politisi kelahiran Cengkareng Timur itu.