JAKARTA, BacainD.com – Tanah milik warga di kawasan Marunda, Jakarta Utara, yang telah diserahkan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sejak 2022 untuk kepentingan perluasan Ruang Terbuka Hijau (RTH), hingga kini belum dibayar.
Pembayan tersebut, belum dilakukan oleh pihak Pemprov DKI meski seluruh proses administratif termasuk penandatanganan Surat Pelepasan Hak (SPH) dan penerbitan Surat Perintah Membayar (SPM) telah dilalui.
Melalui keterangan resmi dari firma hukum ZAB & Partners yang mewakili pemilik tanah, H. Muhlisin, disebutkan bahwa SPH atas dua bidang tanah seluas total 18.749 m² telah ditandatangani di hadapan notaris pada 20 Desember 2022, dengan rincian SHM No 2555 dengan luas tanah 10.480 m2 dan SHM No. 2292 dengan luasan tanah 8.269 m2.
Penandatanganan tersebut dilakukan berdasarkan undangan resmi dari Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI Jakarta dan turut dihadiri oleh sejumlah pejabat penting, termasuk perwakilan Kejaksaan Tinggi, Inspektorat Provinsi, dan aparat wilayah setempat.
Saat itu, nilai pembebasan lahan Tanah yang terletak di Jalan Sungai Tiram, Kelurahan Marunda, Kecamatan Cilincing itu, mencapai sebesar Rp 22,5 miliar. Dengan rincian untuk SHM No. 2555 ditetapkan dengan nilai pembebasan sebesar Rp. 11.733.711.000,- dan untuk SHM No. 2292 ditetapkan sebesar Rp 10.840.000.000.
“Saat penandatanganan SPH, juga telah diterbitkan SPM untuk pembayaran langsung ke rekening Bank DKI atas nama klien kami. Tapi hingga memasuki tahun ketiga, pembayaran tak kunjung dilakukan,” ujar Zainal Abidin, S.H., kuasa hukum dari ZAB & Partners, Rabu (16/4/2025).
Menurut Zainal, berbagai upaya telah dilakukan, mulai dari bersurat hingga melakukan pendekatan persuasif kepada instansi terkait.
Namun, berbagai alasan diberikan pihak Dinas, mulai dari pemeriksaan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hingga ketiadaan anggaran pembebasan lahan dalam APBD 2025.
Ironisnya, menurut kuasa hukum, kliennya (diduga) sempat dimintai sejumlah uang oleh oknum ASN agar proses appraisal dinaikkan, dengan janji nilai pembebasan akan menyesuaikan nilai pembebasan tanah tol sebelumnya di lokasi berdekatan yang mencapai Rp2,63 juta/m².
Hal ini menimbulkan kecurigaan adanya praktik dugaan pungli dalam proses pengadaan lahan tersebut.
“Kami juga telah bersurat kepada Penjabat Gubernur sebelumnya, serta ke Biro Hukum Provinsi DKI Jakarta. Dari biro hukum kami mendapatkan keterangan bahwa anggaran sudah tersedia dan tidak ada lagi hambatan dari sisi hukum,” tambah Zainal.
Namun, pada pertemuan terakhir yang dilakukan 17 Desember 2024, pihak Dinas menyatakan tidak adanya anggaran untuk belanja lahan di tahun 2025, dan jawaban tersebut dikukuhkan dalam surat tertanggal 4 Februari 2025.
“Kami mempertanyakan bagaimana mungkin SPH ditandatangani dan SPM diterbitkan jika anggaran tidak tersedia? Jika memang batal, kenapa sertifikat tanah tidak dikembalikan kepada pemilik?” tegas Zainal.
Langkah terakhir yang akan ditempuh pihak kuasa hukum adalah membawa kasus ini ke jalur hukum untuk mendapatkan kejelasan dan kepastian pembayaran.
“Dengan semangat transparansi dan akuntabilitas yang digaungkan pemerintahan pusat saat ini, kami berharap langkah hukum ini mendapat perhatian dan respons cepat,” tutup Zainal. (Bung Suryo)