
JAKARTA, BacainD.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyoroti keberadaan tambang-tambang nikel di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya, yang dinilai janggal dan berpotensi bermasalah.
Kepala Satuan Tugas (Satgas) Koordinasi Supervisi Wilayah V KPK, Dian Patria, mengungkapkan keprihatinannya terhadap fenomena ini dalam sebuah diskusi yang digelar Greenpeace Indonesia di Jakarta, Kamis (12/6/2025).
“Saya sudah mention ini dua tahun lalu dalam laporan BPKP, kok ada banyak tambang nikel ya di Raja Ampat?” ujar Dian.
Dian mengatakan, dirinya pertama kali mengetahui soal tambang-tambang tersebut dari laporan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Namun, KPK belum mendalami lebih lanjut karena keterbatasan kewenangan.
Lebih luas, Dian menjelaskan bahwa sektor pertambangan di Indonesia menyimpan setidaknya 10 persoalan mendasar.
Salah satunya adalah kecenderungan resentralisasi kewenangan, terutama pasca disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker).
“Omnibus Law memberikan kemudahan investasi, tapi tidak memberikan kemudahan dalam pengawasan. Semua terpusat di hulu,” ungkapnya.
Dian juga menyinggung lemahnya kepatuhan pelaku usaha tambang terhadap regulasi.
Dari sekitar 11.000 izin usaha pertambangan (IUP) yang tercatat, sebanyak 1.850 di antaranya diketahui tidak memiliki dokumen Mine Planning and Production (MPP), yang merupakan syarat penting dalam perencanaan dan produksi tambang.
Dalam hal perpajakan, KPK juga menghadapi kendala akibat ditariknya kewenangan pengawasan pajak ke pusat.
Kantor Wilayah dan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) daerah tidak lagi berwenang mengawasi langsung perusahaan tambang di wilayahnya.
“Ini menyulitkan proses pengawasan karena semua ditarik ke pusat,” jelas Dian.
Lebih lanjut, KPK juga mencermati munculnya praktik baru dalam reaktivasi IUP melalui jalur pengadilan tata usaha negara (PTUN).
Menurut Dian, sejumlah perusahaan tambang menggunakan celah hukum ini untuk menghidupkan kembali izin yang telah dicabut.
“Jangan sampai ini jadi modus. Tahu-tahu mereka menang di pengadilan tanpa pernah ada pembicaraan sebelumnya. Ini yang kami khawatirkan,” tegasnya.
KPK menilai perlunya pengawasan lebih ketat, terutama dalam integrasi sistem perizinan dan pengawasan di sektor pertambangan, demi mencegah penyimpangan yang merugikan negara dan lingkungan. (Frm)