JAWA TENGAH, BacainD.com – Harapan yang seharusnya menjadi penyangga hidup bagi warga miskin justru berubah menjadi ironi. Program Keluarga Harapan (PKH), bantuan sosial andalan pemerintah untuk memutus rantai kemiskinan, kembali menuai sorotan tajam akibat dugaan kekacauan pendataan dan penyaluran di RT 03 RW 01, Desa Tanjung, Kecamatan Kedungtuban, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.
Di tengah gencarnya kampanye bantuan sosial yang diklaim tepat sasaran, sepasang suami istri lanjut usia dengan penghasilan nyaris tak ada justru luput dari sentuhan Negara.
Fakta ini mengundang keprihatinan publik dan menimbulkan pertanyaan besar: ke mana sebenarnya bantuan itu mengalir?
Hertinta (60), warga setempat, ia mengaku hidup bersama suaminya yang juga telah lanjut usia dengan kondisi ekonomi serba terbatas.
Namun ironisnya, ia tak pernah tercatat sebagai penerima bantuan sosial penting seperti PKH maupun bantuan kesejahteraan (Kesra).
“Aku yo bingung. Ada yang dulu PNS, sekarang sudah pensiun kok malah dapat. Aku ini orang susah, tapi nggak pernah didata. Selama ini nggak ada RT, RW, atau kelurahan yang datang ke rumah buat pendataan,” ujar Hertinta dengan suara lirih penuh kekecewaan, Minggu (14/12/2025).
Menurutnya, banyak warga lain yang secara ekonomi berada di atas dirinya justru rutin menerima bantuan. Padahal, ia dan sang suami mengandalkan Kartu Indonesia Sehat (KIS) untuk berobat dan bertahan hidup di usia senja.
“Secara ekonomi jelas saya lebih sulit. Saya dan suami sudah lansia. Tapi kok malah nggak dapat. Aneh rasanya,” tuturnya.
Yang lebih membingungkan, Hertinta mengaku sempat menerima bantuan saat pandemi Covid-19. Namun, setelah itu namanya kembali lenyap dari daftar penerima.
“Waktu corona aku dapat, tapi setelah itu bertahun-tahun nggak pernah lagi. Saya orang awam, tapi kok bisa begini? Aneh, mas,” ucapnya dengan nada heran bercampur pasrah.
Hingga berita ini diterbitkan, belum ada keterangan resmi dari pihak RT, RW, Pemerintah Desa Tanjung, maupun Dinas Sosial terkait dugaan ketidaktepatan pendataan dan penyaluran bantuan tersebut.
Hertinta berharap pemerintah, mulai dari tingkat kelurahan hingga Kementerian Sosial, segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pendataan bantuan sosial.
“Harapan saya sederhana, yang memang layak ya dapat. Yang tidak sesuai kriteria ya jangan. Supaya adil dan tepat sasaran,” katanya.
Kasus ini kembali membuka tabir persoalan klasik penyaluran bansos di daerah, data yang tak akurat, pengawasan lemah, dan nasib warga miskin yang kerap terabaikan.
Publik kini menunggu, apakah jeritan warga lansia ini akan dijawab, atau kembali tenggelam dalam tumpukan data yang tak pernah diperbarui. (Frm)






