BEKASI, BacainD.com – Tuntutan transparansi penggunaan anggaran perumahan DPRD Kota Bekasi mencuat ke permukaan. Seorang aktivis mahasiswa menilai alokasi dana sebesar Rp27,79 miliar per tahun itu, hanya menjadi ‘gimmick anggaran‘ tanpa realisasi nyata di lapangan.

“Logika anggaran publik itu sederhana: sumber daya terbatas, prioritas harus jelas. Jika klaimnya tunjangan perumahan, maka publik berhak tahu realisasinya,” tegas Zefanya Zulian, mantan Presiden Mahasiswa Universitas Bhayangkara Jakarta Raya periode 2021-2022, Senin (8/9/2025).

Zefanya mempertanyakan, substansi dari tunjangan perumahan yang tercantum dalam Peraturan Walikota Bekasi Nomor 81 Tahun 2021 Pasal 19 ayat (2). Ia menyatakan, besaran yang diterima para anggota dewan tidak sebanding dengan kondisi keuangan daerah dan kebutuhan masyarakat.

“Kalau tidak ada bukti pembelian perumahan, berarti ini bukan tunjangan, melainkan sekadar alokasi anggaran yang tidak pernah diwujudkan. Pertanyaan sederhananya: untuk apa anggaran sebesar itu dicairkan setiap bulan?” ungkap warga Kota Bekasi itu.

Berdasarkan regulasi yang berlaku, Ketua DPRD menerima tunjangan perumahan Rp53 juta per bulan, Wakil Ketua Rp49 juta, dan Anggota DPRD Rp46 juta. Dengan komposisi 50 anggota DPRD, total beban APBD mencapai Rp2,316 miliar per bulan.

Angka tersebut kemudian menimbulkan pertanyaan besar tentang akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan daerah. Zefanya menyebut praktik ini sebagai ‘label anggaran sebuah gimmick‘, yang berpotensi menggerus kepercayaan publik terhadap pemerintahan.

“Saya meminta Kejaksaan Negeri Bekasi melakukan audit terhadap kebijakan tersebut. Saya menduga tunjangan perumahan hanya menjadi daftar formal dalam APBD, tanpa ada realisasi nyata,” kata Zefanya sebagai usulan pertama.

Selain audit independen, Zefanya juga mendesak publikasi dokumen penggunaan anggaran berupa bukti pembelian atau penyewaan properti. Langkah ketiga yang diusulkan adalah kajian ulang Perwal No.81 Tahun 2021 agar sesuai dengan prinsip kebutuhan dan proporsionalitas.

“Dalam republik yang sehat, tata kelola anggaran adalah cermin nilai bersama. Angka di dalam APBD bukan sekadar kolom, tapi pilihan prioritas. Jika pilihan itu lebih berpihak pada kenyamanan elit daripada kebutuhan rakyat, maka wajar publik mempertanyakannya,” pungkas Zefanya.

Ikuti Channel WhatsApp Bacaind
Bagikan: