
BEKASI, BacainD.com – Evaluasi kinerja anggota dewan di Indonesia kerap menjadi sorotan publik, terutama terkait parameter dan mekanisme penilaian yang tepat. Perdebatan kembali mencuat, ketika DPRD Kota Bekasi meluncurkan program yang dinilai tidak sejalan dengan fungsi lembaga perwakilan rakyat.
Badan Kehormatan (BK) DPRD Kota Bekasi, baru saja mengumumkan program BK Awards 2025, untuk memberikan penghargaan kepada 45 anggota legislator berkinerja terbaik dalam empat kategori: Dewan Terbaik, Terdisiplin, Terinspiratif, dan Terfavorit.
Namun, inisiatif yang dijadwalkan berlangsung hingga Desember 2025 ini justru menuai kritik pedas dari kalangan akademisi. Benny Tunggul, pengamat kebijakan publik Kota Bekasi, menilai program tersebut keliru secara konseptual dan berpotensi mencoreng citra lembaga legislatif.
“Sangat keliru adanya BK Award karena mekanisme kerja DPRD bukan personal. Ada fraksi mewakili partai, ada komisi kelompok partai, dan pansus. Apabila dilakukan secara perorangan, apa alat ukurnya?” tanya Benny.
Akademisi tersebut mempertanyakan dasar penilaian yang digunakan dalam program ini. Menurutnya, penilaian kinerja secara individual, bertentangan dengan sistem kerja lembaga legislatif yang bersifat kolektif dan representatif.
“Anggota dewan mewakili masyarakat di dapil masing-masing. Apakah diukur dari berapa banyak aspirasi masyarakat di musrenbang terserap di program kerja dan terealisasi? Atau sekedar fashion show DPRD dalam memacu citra lembaga politik yang belum maksimal?” ujar Benny.
Kritik semakin tajam ketika Benny menyoroti esensi DPRD Kota Bekasi sebagai lembaga representasi. Ia menegaskan, bahwa penilaian kinerja yang tepat seharusnya datang dari masyarakat di setiap daerah pemilihan, bukan dari internal lembaga.
“DPRD itu lembaga representasi masyarakat Kota Bekasi. Award yang tepat dari masyarakat setiap dapil yang ada menilai kinerja anggota DPRD,” tegas Benny.
Pengamat kebijakan publik tersebut bahkan memprediksi, dampak negatif dari program BK Awards. Alih-alih meningkatkan motivasi anggota dewan, program ini justru dinilai kontraproduktif bagi citra lembaga legislatif.
“Saya meyakini award yang dilakukan BK akan mencoreng muka lembaga legislatif,” ungkap Benny dengan nada kritis.
Benny menekankan, bahwa orientasi kinerja anggota dewan harus tertuju pada masyarakat, bukan pada internal partai atau lembaga. Hal ini sejalan dengan tiga fungsi utama lembaga legislatif: legislasi, anggaran, dan pengawasan.
“Output dan outcome anggota dewan bukan ke partai atau ke lembaga, tapi di masyarakat Kota Bekasi dalam tiga fungsi lembaga legislatif,” pungkas Benny.
Polemik ini menghadirkan perspektif penting mengenai mekanisme evaluasi kinerja legislatif yang ideal. Kritik akademisi menekankan bahwa penilaian seharusnya berpusat pada kepentingan dan penilaian masyarakat sebagai pemilik kedaulatan.
Program BK Awards 2025 yang tengah berlangsung ini diharapkan dapat mempertimbangkan masukan konstruktif dari berbagai kalangan. Evaluasi mendalam terhadap parameter dan mekanisme penilaian, menjadi kunci untuk memastikan program ini benar-benar bermanfaat bagi peningkatan kualitas pelayanan legislatif kepada masyarakat Kota Bekasi.